Senin, 09 Januari 2012

MAKALAH SYAR’U MAN QOBLANA DAN SADD AZZARIAH


SYAR’U MAN QOBLANA
DAN
SADD AZZARIAH

Di Tujukan Untuk memenuhi tugas
Mata kuliah :
Tafsir Tarbawi (Pendidikan)
Dosen Pengampu :



Di Susun oleh Kelompok 6 :
Herdiana
Mazlan


 PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM [STAI]
BENGKALIS

TA 2010 – 2011

Kata Pengantar

            Assalam mualaikum
           
Puji syukur kehadirat allah swt yang telah menjadikan kita makhluk yang berpengetahuan sehungga dengan pengetahuan terrsbutlah kami bisa menyelesaikan tugas mata kuliah ini dengan harapan agar makalah ini di pergunakan dengan sebaik-baiknya.

Shalawat serta salam kita buatkan untuk baginda nabi Muhammad saw yang menjadikan manusia yang berakhlak yang berpengetahuan dan sebaliknya berpengetahuan yang berakhlak.

Tugas makalah ini sngaja kami buat sebagai pemenuhani tugas mata kuliyah Ushul fiqih yang kami bahas secara rutinitas di setiap minggunya.






















 

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu rukun iman adalah beriman kepada nabi dan para rasul yang menerima wahyu dari Allah SWT. Keimanan itu mengandung arti percaya akan risalah yang di bawa para rasul tersebut. Setiap rasul-rasul ini memiliki risalah-risalah yang menjadi pedoman bagi umatnya masing-masing.

Namun yang menjadi pertanyaannya, apakah risalah-risalah ini boleh untuk kita ikuti ?. untuk itulah kita akan membahas tentang Sar’u Man Qoblana (Syariat Sebelum Kita) ini.

Selain itu, dimakalah ini juga akan membahas tentang Saddu Al-zari’ah, yang mana kita akan membicarakan bentuk-bentuk dari Sadd Azzari’ah ini.

B.Rumusan Masalah

1.                  Apa itu Syar’u Man Qoblana dan Sadd Azzari’ah

2.                 Bagaimana Bentuk-bentuknya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

 

Difinisi Syar’u Man Qablana.
Syar’u Man Qablana adalah setiap hukum yang disyaritkan Allah pada umat-umat terdahulu melalui pelantara setiap rasul.
Macam-Macam Syar’u Man Qablana
Syar’u Man Qablana dibagi menjadi dua bagian. Pertama, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun tidak disebutkan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Ulama’ sepakat bahwa macam pertama ini jelas tidak termasuk syariat kita. Kedua, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun disebutkan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Pembagian kedua ini diklasifikasi menjadi tiga :
Juhmuru al-Hanafiyah, Malikiyah dan sebagian kalangan Syafi’iyah mengatakan bahwa hukum-hukum syariat umat sebelum kita bila soheh maka menjadi syariat bagi kita, tapi tinjauannya tetap melalui Wahyu dari Rasul bukan kitab-kitab mereka.
Asya’irah Mu’tazilah, Si’ah dan yang Rajih dari kalangan Syafi’ie mengatakan bahwa syariat umat sebelumnya apabila tidak ditegaskan oleh syariat kita, maka tidak termasuk syariat kita. Pendapat mereka ini diambil juga oleh al-Ghazali, al-Amudi, al-Razi, Ibnu Hazm dan kebanyakan para ulama’.
Ada empat dalil yang dibuat tendensi mereka, para ulama’ yang menganggap bahwa syariat umat sebelum kita adalah syariat kita :
1. Syariat umat sebelum kita adalah syariat Allah yang tidak ditegaskan kalausanya telah dinasakh, karena itu kita dituntut mengikutinya serta mengamalkan berdasarkan firman Allah dalam surat al-An’am, ayat, 90, al-Nahl, ayat, 123 dan surat al-Syura, ayat, 13. Disebutkan juga bahwa Ibnu Abbas pernah melakukan Sujud Tilawah ketika membaca salah satu ayat al-Quran dalam surat shod(ص) ayat 24.
2. kewajiban menqadho’i shalat Fardhu berdasarkan hadis nabi”Barangsiapa yang tertidur atau lupa melakukan shalat maka Qadho’ilah kalau nanti sudah ingat” dan ayat”Kerjakanlah shalat untuk mengingatku” yang disebutkan oleh Nabi secara berurutan dengan hadis di atas. Ayat ini ditujukan pada Nabi Musa AS, karena itu seandainya Nabi tidak dituntut untuk mengikuti syariat nabi sebelumnya niscaya penyebutan ayat di atas tidak dapat memberikan faidah.
3. Ayat kelima dalam surat al-Ma’idah yang menyebutkan permasalahan Qishas. Ayat ini dibuat tendensi oleh para ulama’ akan kewajibannya Qishas dalam syariat kita.
4. Nabi itu senang untuk mencocoki Ahli al-Qitab dalam permasalahan yang belum ditetapkan keberadaannya oleh Wahyu.
Ada empat dalil yang juga dipakai oleh mereka yang mengingkari syariat umat sebelum kita sebagai syariat kita, yaitu :
1. Ketika Nabi mengutus Muadz Bin Jabal ke Yaman beliau menanyainya tentang apa yang akan Muadz jadikan dalil ketika mau menghukumi suatu masalah. Sahabat Muadz menjawab “aku akan memakai al-Quran dan hadis dan bila aku dalam
keduanya tidak mendapatkan jawaban permasalahan tersebut maka aku akan berijtihad.
2. Firman Allah yang menunjukkan bahwa Allah telah menciptakan syariat dalam masing-masing umat, baik umat Nabi Muhammad atau umat Nabi terdahulu.
3. Seandainya Nabi, umatnya wajib mengikuti syariat umat terdahulu, niscaya beliau wajib mempelajari syariat tersebut.
4. Syariat terdahulu adalah husus bagi umat tertentu, sementara syariat islam adalah syariat umum yang menasakh syariat-syraiat terdahulu.

                                                                                                                                                                                                                                                                         
SADD AZ-ZARI’AH
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                             Kata Sad menurut bahasa berarti “menutup”,  Dzari’ah berarti ‘wasilah’ atau  jalan menuju sesuatu, sehingga pengertian sad az-zari’ah yaitu menutup sesuatu yang                mengarah kepada kebaikan.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  

perbuatan -  perbuatan yang menjadi wasilah kepada kebinasaan, lanjut Abdul-karim Zaidan, terbagi kepada dua macam :

1)             Perbuatan yang keharamannya bukan saja karena wasilah bagi sesuatu yang diharamkan, tetapi esensi perbutan  itu sendiri adalah haram. Oleh karena itu, keharaman perbuatan seperti itu bukan termasuk dalam kajian sad az-zariah.
2)             Kedua, perbuatan yang secara esensial di bolehkan (mubah), namun perbuatan itu memungkinkan untuk di gunakan sebagai wasilah kepada sesuatu yang diharamkan. Perbuatan seperti ini ada empat macam
a)              Perbuatan itu dapat dipastikan akan mengakibatkan kebinasaan. Misalnya menggali lubang di tempat yang gelap di depan pintu gerbang tempat lalu lintas orang umum yang dapat di pastikan akan menjebak siapa yang melaluinya. Perbuatan seperti ini, menurut Wahbah az-zuhaili, adalah perbuatan terlarang dan jika ada yang cedera disebabkannya, pelakunya dapat dituntut dan di minta pertanggung-jawabannya.
b)              Perbuatan itu mengandung kemungkinan, meskipun kecil, akan membawa kepada sesuatu yang dilarang. Misalnya, menggali sumur di tempat yang tidak biasa dilalui orang, atau menjual buah anggur kepada orang yang tidak terkenal sebagai produsen khamr atau minuman keras. Hal ini boleh dilakukan karena kemungkinan akan membawa kebinasaan sangat sedikit.
c)              Perbuatan pada dasarnya adalah mubah, namun kemungkinannya akan membawa kepada kebinasaan lebih besar dibandingkan dengan kemaslahatan yang akan di raih. Contohnya, menjualk senjata kepada musuh pada waktu perang, menyewakan rumah kepada germo. Hal ini dilarang karna keras dugaan akan digunakan untuk sesuatu yang diharamkan agama.
d)             Perbuatan yang pada dasarnya mubah karena mengandung kemaslahatan, tetapi disamping itu dilihat kepada pelaksanaannya ada kemungkinan membawa kepada sesuatu yang dilarang. Misalnya semacam akad jual beli yang mungkin digunakan sebagai upaya mengelak dari riba, dengan cara si A menjual sesuatu benda dengan harga satu juta rupiah dengan cara berhutang kepada si B, dan ketika itu benda tersebut dibeli kembali oleh si A seharga delapan ratus ribu rupiah dengan cara tunai, sehingga hasilnya, dengan perantaraan jual beli arloji, pihak B mengantongi uang delapan ratus ribu rupiah dan nanti pada waktu yang telah ditentukan harus di bayar sejuta rupiah. Jual beli semacam ini dinamakan dengan ba’I al-ainah.
Menurut Wahbah az-zuhaili, para ulama sepakat tentang dilarangnya perbuatan seperti ini jika kelihatan tanda-tanda bahwa mereka berniat melakukan riba.






BAB III
KESIMPULAN


v      Syar’u Man Qoblana ialah hukum-hukum yang yang telah disyariatkan untuk umat sebelum nabi Muhammad Saw, yang di bawa oleh para nabi dan rasul terdahulu dan menjadii beban hukum untuk diikuti oleh umat sebelum nabi Muhammad Saw.
       Syariat-syariat ini tidaklah berlaku untuk umat nabi Muhammad, Keculi yang hukumnya sama yang terdapat dalam Al-Quran dan Assunnah. Hal ini dikarenakan syariat-syariat ini telah disempurnakan oleh Al-Quran Dan Assunnah nabi Muhammad Saw itu Sendiri.

v   Sadd Azzariah dapat didefenisikan sebagai apa-apa yang menjadi perantara  atau menutup jalan menuju kemudharatan. Azzariah adalah di tempatkan sebagai dalil dalam menetapkan hukum. Namun, semua ini adalah semata-mata hasil ijtihad.































PUSTAKA



Prof. Dr. H. Sartria Efendi, M. Zein, M.A, Usul Fiqh, Jakarta, Kencana, 2009

Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, ushul Fiqh, Jakarta, Media Grafika 77, 2009





Tidak ada komentar:

Posting Komentar