SYAR’U MAN
QOBLANA
DAN
SADD
AZZARIAH
Di Tujukan
Untuk memenuhi tugas
Mata kuliah :
Tafsir
Tarbawi (Pendidikan)
Dosen
Pengampu :
Di Susun oleh Kelompok 6 :
Herdiana
Mazlan
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM [STAI]
BENGKALIS
TA 2010 – 2011
Kata Pengantar
Assalam
mualaikum
Puji syukur
kehadirat allah swt yang telah menjadikan kita makhluk yang berpengetahuan
sehungga dengan pengetahuan terrsbutlah kami bisa menyelesaikan tugas mata
kuliah ini dengan harapan agar makalah ini di pergunakan dengan sebaik-baiknya.
Shalawat serta
salam kita buatkan untuk baginda nabi Muhammad saw yang menjadikan manusia yang
berakhlak yang berpengetahuan dan sebaliknya berpengetahuan yang berakhlak.
Tugas makalah
ini sngaja kami buat sebagai pemenuhani tugas mata kuliyah Ushul fiqih yang
kami bahas secara rutinitas di setiap minggunya.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu rukun iman adalah beriman kepada nabi dan para rasul yang menerima wahyu dari Allah SWT. Keimanan itu mengandung arti percaya akan risalah yang di bawa para rasul tersebut. Setiap rasul-rasul ini memiliki risalah-risalah yang menjadi pedoman bagi umatnya masing-masing.
Namun yang menjadi pertanyaannya, apakah risalah-risalah ini boleh untuk kita ikuti ?. untuk itulah kita akan membahas tentang Sar’u Man Qoblana (Syariat Sebelum Kita) ini.
Selain itu, dimakalah ini juga akan membahas tentang Saddu Al-zari’ah, yang mana kita akan membicarakan bentuk-bentuk dari Sadd Azzari’ah ini.
B.Rumusan Masalah
1. Apa itu Syar’u Man Qoblana dan Sadd Azzari’ah
2. Bagaimana Bentuk-bentuknya.
BAB II
PEMBAHASAN
Difinisi Syar’u Man Qablana.
Syar’u Man Qablana adalah setiap hukum yang disyaritkan Allah pada
umat-umat terdahulu melalui pelantara setiap rasul.
Macam-Macam Syar’u Man Qablana
Syar’u Man Qablana
dibagi menjadi dua bagian.
Pertama, setiap hukum syariat dari umat terdahulu
namun tidak disebutkan dalam al-Qur’an
dan al-Sunnah. Ulama’
sepakat bahwa macam pertama ini jelas tidak termasuk syariat kita. Kedua, setiap hukum syariat dari
umat terdahulu namun disebutkan dalam al-Qur’an
dan al-Sunnah. Pembagian kedua ini diklasifikasi menjadi tiga :
Juhmuru al-Hanafiyah, Malikiyah dan sebagian kalangan Syafi’iyah
mengatakan bahwa hukum-hukum syariat umat sebelum kita bila soheh maka menjadi syariat bagi kita,
tapi tinjauannya tetap melalui Wahyu
dari Rasul bukan kitab-kitab mereka.
Asya’irah Mu’tazilah, Si’ah dan
yang Rajih dari kalangan
Syafi’ie mengatakan bahwa syariat umat sebelumnya apabila tidak ditegaskan oleh
syariat kita, maka tidak termasuk syariat kita. Pendapat mereka ini diambil
juga oleh al-Ghazali, al-Amudi,
al-Razi, Ibnu Hazm dan kebanyakan para ulama’.
Ada empat dalil
yang dibuat tendensi mereka, para ulama’ yang menganggap bahwa syariat umat
sebelum kita adalah syariat kita :
1. Syariat umat sebelum kita adalah syariat Allah yang tidak ditegaskan
kalausanya telah dinasakh,
karena itu kita dituntut mengikutinya serta mengamalkan berdasarkan firman
Allah dalam surat al-An’am, ayat,
90, al-Nahl, ayat, 123 dan
surat al-Syura, ayat, 13.
Disebutkan juga bahwa Ibnu Abbas pernah melakukan Sujud Tilawah ketika membaca salah satu ayat al-Quran dalam
surat shod(ص) ayat 24.
2. kewajiban menqadho’i shalat
Fardhu berdasarkan hadis
nabi”Barangsiapa yang tertidur atau lupa melakukan shalat maka Qadho’ilah kalau nanti sudah ingat”
dan ayat”Kerjakanlah shalat untuk mengingatku” yang disebutkan oleh Nabi secara
berurutan dengan hadis di atas. Ayat ini ditujukan pada Nabi Musa AS, karena
itu seandainya Nabi tidak dituntut untuk mengikuti syariat nabi sebelumnya
niscaya penyebutan ayat di atas tidak dapat memberikan faidah.
3. Ayat kelima dalam surat al-Ma’idah
yang menyebutkan permasalahan Qishas.
Ayat ini dibuat tendensi oleh para ulama’ akan kewajibannya Qishas dalam syariat kita.
4. Nabi itu senang untuk mencocoki Ahli
al-Qitab dalam permasalahan yang belum ditetapkan keberadaannya oleh Wahyu.
Ada empat dalil
yang juga dipakai oleh mereka yang mengingkari syariat umat sebelum kita
sebagai syariat kita, yaitu :
1. Ketika Nabi mengutus Muadz Bin Jabal ke Yaman
beliau menanyainya tentang apa yang akan Muadz jadikan dalil ketika mau
menghukumi suatu masalah. Sahabat Muadz menjawab “aku akan memakai al-Quran dan
hadis dan bila aku dalam
keduanya tidak mendapatkan jawaban permasalahan
tersebut maka aku akan berijtihad.
2. Firman Allah yang menunjukkan bahwa Allah telah menciptakan syariat dalam
masing-masing umat, baik umat Nabi Muhammad atau umat Nabi terdahulu.
3. Seandainya Nabi, umatnya
wajib mengikuti syariat umat terdahulu, niscaya beliau wajib mempelajari
syariat tersebut.
4. Syariat terdahulu adalah husus bagi umat tertentu, sementara syariat islam
adalah syariat umum yang menasakh syariat-syraiat terdahulu.
SADD AZ-ZARI’AH
Kata Sad menurut bahasa
berarti “menutup”, Dzari’ah
berarti ‘wasilah’ atau jalan menuju
sesuatu, sehingga pengertian sad az-zari’ah yaitu menutup sesuatu yang mengarah kepada kebaikan.
perbuatan - perbuatan yang menjadi wasilah kepada
kebinasaan, lanjut Abdul-karim Zaidan, terbagi kepada dua macam :
1)
Perbuatan yang keharamannya bukan saja karena wasilah
bagi sesuatu yang diharamkan, tetapi esensi perbutan itu sendiri adalah haram. Oleh karena itu,
keharaman perbuatan seperti itu bukan termasuk dalam kajian sad az-zariah.
2)
Kedua, perbuatan yang secara esensial di bolehkan
(mubah), namun perbuatan itu memungkinkan untuk di gunakan sebagai wasilah
kepada sesuatu yang diharamkan. Perbuatan seperti ini ada empat macam
a)
Perbuatan itu dapat dipastikan akan mengakibatkan
kebinasaan. Misalnya menggali lubang di tempat yang gelap di depan pintu
gerbang tempat lalu lintas orang umum yang dapat di pastikan akan menjebak
siapa yang melaluinya. Perbuatan seperti ini, menurut Wahbah az-zuhaili, adalah
perbuatan terlarang dan jika ada yang cedera disebabkannya, pelakunya dapat
dituntut dan di minta pertanggung-jawabannya.
b)
Perbuatan itu
mengandung kemungkinan, meskipun kecil, akan membawa kepada sesuatu yang
dilarang. Misalnya, menggali sumur di tempat yang tidak biasa dilalui orang,
atau menjual buah anggur kepada orang yang tidak terkenal sebagai produsen
khamr atau minuman keras. Hal ini boleh dilakukan karena kemungkinan akan
membawa kebinasaan sangat sedikit.
c)
Perbuatan pada dasarnya adalah mubah, namun
kemungkinannya akan membawa kepada kebinasaan lebih besar dibandingkan dengan
kemaslahatan yang akan di raih. Contohnya, menjualk senjata kepada musuh pada
waktu perang, menyewakan rumah kepada germo. Hal ini dilarang karna keras
dugaan akan digunakan untuk sesuatu yang diharamkan agama.
d)
Perbuatan yang pada dasarnya mubah karena mengandung
kemaslahatan, tetapi disamping itu dilihat kepada pelaksanaannya ada
kemungkinan membawa kepada sesuatu yang dilarang. Misalnya semacam akad jual
beli yang mungkin digunakan sebagai upaya mengelak dari riba, dengan cara si A menjual
sesuatu benda dengan harga satu juta rupiah dengan cara berhutang kepada si B, dan
ketika itu benda tersebut dibeli kembali oleh si A seharga delapan ratus ribu
rupiah dengan cara tunai, sehingga hasilnya, dengan perantaraan jual beli arloji,
pihak B mengantongi uang delapan ratus ribu rupiah dan nanti pada waktu yang
telah ditentukan harus di bayar sejuta rupiah. Jual beli semacam ini dinamakan
dengan ba’I al-ainah.
Menurut
Wahbah az-zuhaili, para ulama sepakat tentang dilarangnya perbuatan seperti ini
jika kelihatan tanda-tanda bahwa mereka berniat melakukan riba.
BAB
III
KESIMPULAN
v
Syar’u
Man Qoblana ialah hukum-hukum yang yang telah disyariatkan untuk umat sebelum
nabi Muhammad Saw, yang di bawa oleh para nabi dan rasul terdahulu dan menjadii
beban hukum untuk diikuti oleh umat sebelum nabi Muhammad Saw.
Syariat-syariat ini
tidaklah berlaku untuk umat nabi Muhammad, Keculi yang hukumnya sama yang
terdapat dalam Al-Quran dan Assunnah. Hal ini dikarenakan syariat-syariat ini
telah disempurnakan oleh Al-Quran Dan Assunnah nabi Muhammad Saw itu Sendiri.
v
Sadd Azzariah dapat didefenisikan sebagai
apa-apa yang menjadi perantara atau
menutup jalan menuju kemudharatan. Azzariah adalah di tempatkan sebagai dalil
dalam menetapkan hukum. Namun, semua ini adalah semata-mata hasil ijtihad.
PUSTAKA
Prof. Dr. H. Sartria Efendi, M.
Zein, M.A, Usul Fiqh, Jakarta, Kencana, 2009
Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin,
ushul Fiqh, Jakarta, Media Grafika 77, 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar