Surat Ali Imron ayat 190-191
(190) إِنَّفِي
خَلْقِالسَّمَاوَاتِوَالأَرْضِوَاخْتِلاَفِاللَّيْلِوَالنَّهَارِلآيَاتٍلِّأُوْلِيالألْبَابِ
الَّذِينَيَذْكُرُونَاللّهَقِيَامًا
وَقُعُودًاوَعَلَىَجُنُوبِهِمْوَيَتَفَكَّرُونَفِي خَلْقِالسَّمَاوَاتِوَالأَرْضِرَبَّنَامَاخَلَقْتَهَذا
(191)بَاطِلاًسُبْحَانَكَفَقِنَاعَذَابَالنَّارِ
SURAH SHAAD Ayat : 26
TERJEMAHAN
Surat Ali Imron ayat 190-191
Yang Artinya:
Ayat 190 :
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan
bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang berakal.
Ayat 191 : (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk
atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan
bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini
dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka.
Surat Shaad ayat 26
Yang Artinya : Hai Daud, Sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah
(penguasa) di muka bumi, Maka berilah Keputusan (perkara) di antara manusia
dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, Karena ia akan menyesatkan
kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah
akan mendapat azab yang berat, Karena mereka melupakan hari perhitungan.
ASBABUN NUZUL
QS. ALI IMRAN
AYAT 190-191
Menurut riwayat Abu Ishak al-muqariy, Abdullah bin Hamid,
Ahmad bin Muhammad bin Yahya Al-Abidiy dan seterusnya, bahwa orang Quraisy
Yahudi berkata; apakah ayat-ayat yang telah dibawa oleh Musa? Mereka menjawab:
tongkat dan tangannya putih bagi orang yang melihatnya. Selanjutnya mereka
datang kepada orang-orang Nasrani dan berkata: bagaimanakah dengan yang dibawa
oleh Isa terhadapmu? Mereka menjawab: menyembuhkan orang yang lepra dan
penyakit kulit serta menghidupkan orang mati. Kemudian mereka datang kepada
Nabi dan berkata: Coba engkau ubah bukit Shafa ini menjadi emas untuk kami,
maka turunlah ayat 190-191 dalam surat Ali Imran tersebut.
PENAFSIRAN
Kata akal (العقل) yang
berasal dari bahasa Arab dalam bentuk kata benda, tidak akan kita temukan dalam
Al-Qur’an. Namun, ketika Al-Qur’an akan mengungkap kata akal maka akan
didapatkan bentuk kata kerjanya yaitu : عقلوه, نعقل,
يعقلها,يعقلون kata-kata
itu dapat diartikan dengan paham dan mengerti.
Selain itu kata akal
juga diidentikan dengan kata LubI jamaknya al-Albab, sehingga
ulul Albal diartikan orang-orang yang berakal. Dalam Q.S. Ali Imran/3:190-191
dinyatakan :
ان في خلق السموات والارض واختلاف الليل
والنهار لايات لاولي الالبا ب.الذين يذ كرون الله قياما وقعودا وعلي جنوبهم
ويتفكرون في خلق السموات والارض ربنا ما خلقت هذا با طلا سبحانك فقنا عذاب
النار
Pada ayat tersebut di
atas terlihat bahwa orang yang berakal (Ulul Albab) adalah orang yang
melakukan dan memadukan antara tadzakkur dan Tafakkur yakni
mengingat Allah dan memikirkan ciptaannya. Dengan melakukan kedua hal
tersebut akan sampai kepada hikmah yaitu mengetahui, memahami dan menghayati
bahwa di balik fenomena Alam dan segala sesuatu yang ada didalamnya menunjukan
adanya Sang Pencipta Allah SWT.Muhammad Abduh menyatakan bahwa dengan
merenungkan penciptaan langit dan bumi, pergantian siang dan malam akan membawa
manusia menyaksikan ke-Esaan Allah yaitu adanya aturan yang dibuat-Nya serta
karunia dan berbagai manfaat yang terdapat di dalamnya. Hal itu menunjukan
kepada fungsi akal sebagai alat untuk mengingat, berfikir dan merenung.
Lebih lanjut
Al-Maraghy mengatakan bahwa keberuntungan dan kemenangan akan tercipta dengan
mengingat keagaungan Allah dan memikirkan terhadap segala ciptaan-Nya (makhluk-Nya).
Kebahagiaan tersebut dapat dilhat dari munculnya bebagai temuan manusia dalam
ilmu pengetahuan dan teknologi yang pada hakikatnya merupakan generalisasi atau
teorisasi terhadap gejala-gejala dan hukum yang terdapat di alam jagat
raya ini. Keadaan tersebut dapat mengantarkan pula manusia untuk mensyukuri dan
meyakini bahwa segala cipataan Allah ternyata amat bermanfaat dan tidak
ada sia-sia.
Sementara itu pula
kata hawa nafsu yang diungkapkan Al-Qur’an dengan kata al-Hawa’ (الهوى) yang
diulang 37 kali, mencakup berbagai aspeknya. Pertama, menyangkut
pengertiannya kebinasaan. Kedua, berkenaan dengan sifatnya yatiu
enggan menerima kebenaran. Ketiga, berkenaan dengan sasarannya yang
menyesatkan manusia (Q.S.an-Nisa/4:135). Keempat, berkenaan dengan
lawannya yaitu al-haqq (kebenaran). Kelima, berkenaan dengan
pahala bagi orang yang tak terpedaya dengan hawa nafsu dan mematuhi perintah
Allah SWT (Q.S. An-Nazia’at/79;40-41). Dengan begitu, dapatlah diketahui bahwa
hawa nafsu yang terdapat dalam diri manusia cenderung untuk mengajak
manusia kepada hal-hal yang bersifat merusak, menyesatkan, menyengsarakan
dan menghinakan bagi orang yang mengikutinya.
Dalam salah satu
ayat-Nya Allah berfirman :
يا داود انا جعلناك خليفة فى الارض فاحكم
بين الناس بالحق ولاتتبع الهوى فيضلك عن سبيل الله لهم عذاب شديد بما نسوا يوم
الحسا ب (ص: 26)
Pada ayat tersebut
dengan tegas Allah mengingatkan nabi Daud sebagai penguasa (raja) agar memimpin
rakyatnya dan memutuskan berbagai perkara dengan seadil-adilnya, yaitu sikap
yang tidak membeda-membedakan antara satu kelompok dengan kelompok yang
lainnya. Selanjutnya Daud diingatkan pula agar tidak memperturutkan hawa nafsu,
karena dapt menyebabkan manusia melakukan perbuatan yang tidak sejalan dengan
kehendak Allah dan Rasul-Nya. Perbuatan tersebut akan merugikan dirinya,
masyarakat sekitarnya bahkan pelakunya akan menerima azab dari Allah SWT. Maka
jelaslah bahwa seorang pemimpin yang baik adalah orang yang mendahulukan
kebenaran yang diputuskan akalnya, bukan yang gemar memperturutkan hawa
nafsunya dalam setiap perbuatan dan tindakannya.
Hawa nafsu yang ada
dalam diri manusia adalah merupakan tempat dimana syetan memasukan peranan, dan
pengaruhnya. Pengaruh itu dapat tampil dalam berbagai bentuknya dan menyentuh
berbagai lapisan masyarakat baik kaya atau miskin, pejabat atau rakyat,
pedagang atau pegawai, wanita atau pria, pemuda maupun orangtua dan
seterusnya.Padahal jika keadaan manusia dalam berbagai lapisan tersebut telah
terpedaya dan diperbudak oleh hawa nafsunya maka akan hancurlah segala tatanan
kehidupan baik ekonomi, politik, sosial, ilmu pengetahuan dan sebagainya.
HUBUNGANNYA DENGAN PENDIDIKAN
Implikasi
kependidikan dari pemahaman terhadap uraian di atas adalah bahwa pendidikan
yang baik adalah pendidikan yang harus mempertimbangkan potensi akal.
Pendidikan harus membina, mengarahkan dalam mengembangkan potensi akal
pikirannya sehingga ia terampil dalam memecahkan berbagai masalah, diisi dengan
berbagai konsep-konsep dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki pemahaman
tentang yang baik dan benar. Berbagai materi pendidikan yang terdapat dalam
kurikulum harus memuat mata pelajaran yang bertujuan membina akal tersebut.
Demikian pula metode dan pendekatan yang merangsang akal pikiran harus
dipergunakan. Fenomena alam raya dengan segala isinya dapat digunakan untuk
melatih akal agar mampu merenung dan menangkap pesan ajaran yang terdapat di
dalamnya. Dengan akal yang dibina dan diarahkan seperti itu, maka ia diharapkan
dapat terampil dan kokoh dalam menghalangi berbagai pengaruh negatif yang
ditimbulkan oleh hawa nafsu.
Seiring dengan
itu pula pendidikan harus mengarahkan dan mengingatkan manusia agar tidak
melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merangsang dorongan hawa nafsu,
seperti berpakaian mini yang membuka aurat, berjudi, minum-minuman keras,
narkoba, pergaulan bebas dan sebagainya. Pendidikan Islam harus menekankan
larangan terhadap perbuatan-perbuatan yang dapat mengundang nafsu syahwat
tersebut. Diketahui bahwa dengan berpakaian mini, membuka aurat atau ketat akan
mengundang dorongan birahi seksual bagi orang yang melihatnya sehingga
terjadilah pemerkosaan. Demikian pula narkoba dapat menyebabkan manusia lupa
diri, lepas kontrol dan dengan mudah melakukan pelanggaran tanpa rasa malu.
Selanjutnya pergaulan bebas akan membuat peluang seseorang melakukan perzinahan.
Demikian pula berjudi menyebabkan orang tidak puas, ingin terus menang jika ia
menang, dan terus berjuang jika ia kalah dalam judinya sampai ia sengsara.
Materi
pendidikan yang dapat meredam gejolak hawa nafsu itu adalah pendidikan akhlak
dan budi pekerti yang mulia, yaitu budi pekerti dan akhlak yang sifatnya bukan
hanya pengetahuan, tetapi penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
Orang yang telah
terbina akalnya dan telah terkendalikan bawa nafsunya dengan pendidikan
sebagaimana tersebut di atas, maka ia akan menjadi orang yang tangguh
mentalnya, tahan uji dalam hidup, tidak mudah terjerumus dan siap menghadapi
ujian hidup. Berbagai kesulitan dan problema yang diterima oleh orang yang
telah kuat jiwanya ini akan dihadapinya dengan jiwa yang tenang. Ia tidak lekas
cepat kehilangan keseimbangan, karena dengan akal pikirannya ia menemukan
berbagai rahasia dan hikmah yang terdapat di balik ujian dan kesulitan yang
dihadapinya. Baginya kesulitan dan tantangan bukan dianggap sebagai beban yang
membuat dirinya lari darinya, melainkan dihadapinya dengan tenang, dan
mengubahnya menjadi peluang, rahmat dan kemenangan.
Berdasarkan
uraian tersebut di atas terlihat dengan jelas bahwa kajian terhadap akal dan
hawa nafsu secara utuh, komprehensif dan benar merupakan masukan yang amat
penting bagi perumusan konsep pendidikan dalam Islam.
PENUTUP
KESIMPULAN
Yang dimaksud dengan orang yang
berakal adalah orang yang melakukan dua hal yaitu tazakkur yakni
mengingat Allah, dan tafakkur, yaitu memikirkan ciptaan Allah.
Seluruh
pengertian tentang akal adalah menunjukkan bahwa adanya potensi yang dimiliki
oleh akal itu sendiri, yaitu selain berfungsi sebagai alat untuk mengingat,
memahami, mengerti, juga menahan, mengikat dan mengendalikan hawa nafsu.
Melalui proses memahami dan mengerti secara mendalam terhadap segala ciptaan
Allah, manusia selain akan menemukan berbagai temuan dalam bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi, juga akan membawa dirinya dekat dengan Allah. Dan
melalui proses menahan, mengikat dan mengendalikan hawa nafsunya membawa
manusia selalu berada di jalan yang benar, jauh dari kesesatan dan kebinasaan.
Nafsu juga termasuk salah satu potensi
rohaniah yang terdapat dalam diri manusia yang cenderung kepada hal-hal yang
bersifat merusak, menyesatkan, menyengsarakan, dan menghinakan bagi orang yang
mengikutinya. Atas dasar itu, maka manusia diperingatkan agar berhati-hati.
Implikasi
tentang posisi akal dan nafsu terhadap bidang pendidikan adalah bahwa
pendidikan yang baik adalah pendidikan yang harus
mempertimbangkan potensi akal. Pendidikan harus membina, mengarahkan dan
mengembangkan potensi akal pikirannya sehingga ia terampil dalam memecahkan
berbagai masalah, diisi dengan berbagai konsep-konsep dalam bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi, memiliki pemahaman tentang yang baik dan benar.
Berbagai materi pendidikan yang terdapat dalam kurikulum harus memuat mata
pelajaran yang bertujuan membina akal tersebut. Demikian pula metode dan
pendekatan yang merangsang akal pikiran harus dipergunakan.
SARAN
Setelah
mempelajari makalah ini, hendaknya mahasiswa bias mengendalikan akal dan nafsu.
Sehingga terciptanya mahasiswa yang baik dan berkualitas.
Daftar pustaka
Dr. H. Abuddin Nata, Tafsir
Ayat-ayat Pendidikan, Jakarta, Rajawali Pers, 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar